Langsung ke konten utama

MINTA MAAFLAH JIKA BERBUAT DZALIM

Minta Maaflah jika Berbuat Zalim




Dosa Kezaliman: Ingatlah dan Mintalah Maaf

Kezaliman adalah dosa besar yang akan mendatangkan siksa pedih di akhirat jika tidak segera disesali. Islam menekankan pentingnya meminta maaf kepada yang dizalimi, karena di akhirat kebaikan kita bisa berpindah kepada mereka. Sebelum terlambat, segera bertaubat dan minta maaf untuk menghindari hukuman di hari pembalasan.

Makna Zalim

Secara etimologi, zhulmu (kezaliman) berarti,

“ Azh-zhulmu artinya meletakkan sesuatu yang bukan pada tempatnya dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Al-'Ain karya Al-Khalil bin Ahmad, hlm. 154; Tahdzib Al-Lughah karya Al-Azhari, 14:276; Bahjah Al-Majalis karya Ibnu 'Abdil Barr, 1:362)

Secara istilah, zhulmu artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau lebih dari batas. Al-Asfahani mengatakan mengenai zalim adalah,

“Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisi yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” ( Mufradat Allafzhil Qur'an, hlm. 537)

Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata,

ِواعلم أن الظلم هو النقص، قال الله تعالى (كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَه َا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئاً) (الكهف: 33) ، يعني لم 

“Ketahuilah bahwa zalim itu adalah naqsh (bersikap kurang). Allah Ta'ala berfirman (yang artinya): ' Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu lam tazhlim (tidak kurang) buahnya sedikitpun '. Maksudnya tidak kurang buahnya sedikit pun. Bersikap kurang itu bisa jadi berupa melakukan hal yang tidak diperbolehkan bagi seseorang, atau melalaikan apa yang diwajibkan kepadanya. Oleh karena itu, zalim berporos pada dua hal ini, baik berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram” ( Syarah Riyadush Shalihin , 2:486).

Zalim secara umum dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, baik dengan mengurangi, menambah, atau melampaui batas. Zalim terjadi ketika seseorang melanggar larangan atau mengabaikan kewajiban, mencakup ketidakadilan terhadap diri sendiri, orang lain, maupun hak Allah.

 

Islam Melarang Kezaliman

Allah Ta'ala berfirman,

ِأَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

“ Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim ” (QS. Hud: 18).

ِوَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنّ dan أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ

“ Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu sangat pedih lagi keras ” (QS.Hud: 102).

ِنَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ

“ Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu” ” (QS.Saba: 40).

ِمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ

“ Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi kabar syafa'at yang menerima syafa'atnya ” (QS. Ghafir: 18).

ِإِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An'am: 21).

Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil-dalil dari hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ِيَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَي ْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا

“ Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi. (HR.Muslim, no.2577).

Dia juga bersebda,

ِاتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ

“Jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan pada hari berhenti.” (HR. Bukhari, no. 2447, Muslim, no. 2578).

Dia juga bersebda,

ِالمُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ، لا يَظْلِمُهُ ولا يُسْلِمُهُ، ومَن كانَ في حاجَةِ أخِيهِ كانَ اللَّهُ في حاجَتِهِ

“ Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. (HR.Muslim, no.2564).

 

Akibat Orang Berbuat Zalim

Perbuatan zalim menyebabkan pelakunya mendapat keburukan di dunia dan di akhirat. Diantaranya:

1. Orang zalim akan dibalas di akhirat hingga menjadi orang yang bangkrut

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya,

 أَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ Kata: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ.

“ Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka. (HR.Muslim, no.2581).

 

2. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma , Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ِالظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ

“ Kezaliman adalah kegelapan pada hari berhenti. (HR. Bukhari no. 2447 dan Muslim no. 2579).

 

3. Terancam oleh doa orang yang dizalimi

Doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah, termasuk jika orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi yang menzaliminya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فإنَّهَا ليسَ بيْنَهَا وبيْنَ اللَّهِ حِجَاب ​​ٌ.

“ Wapadalah terhadap doa orang yang terzalimi, karena doanya langsung sampai kepada Allah tanpa ada penghalang .” (HR. Bukhari, no. 2448, 1496 dan Muslim, no.19).

 

Jenis-Jenis Kezaliman

Kezaliman terbagi menjadi tiga:

  1. Kezaliman antara manusia dan Allah Ta'ala : Kezaliman terbesar dalam hal ini adalah kekufuran, syirik, dan nifaq. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Hal ini juga disinggung dalam firman-Nya, “Ingatlah, laknat Allah atas orang-orang yang zalim” (Hud: 18) dan “Allah telah menyediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih” (Al-Insan: 31). Ayat lain menegaskan, “Siapakah yang lebih zalim dari orang yang menjadikan kedustaan ​​atas nama Allah?” (Az-Zumar: 32) dan “Siapakah yang lebih zalim dari orang yang mengada-adakan gambaran terhadap Allah?” (Al-An'am : 93).
  2. Kezaliman antara manusia dengan sesama manusia : Allah menyebutkan jenis kezaliman ini dalam firman-Nya, “Balasan keburukan adalah keburukan yang setimpal… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (Asy-Syura: 42). Juga dalam ayat, “Sesungguhnya jalan (untuk menuntut keadilan) hanya terhadap orang-orang yang menzalimi manusia” (Asy-Syura: 42) dan “Barang siapa yang dibunuh secara zalim…” (Al-Isra: 33).
  3. Kezaliman antara manusia terhadap dirinya sendiri : Ini disebutkan dalam ayat, “Di antara mereka ada yang menzalimi dirinya sendiri” (Fathir: 32), juga dalam firman-Nya, “Aku telah menzalimi diriku sendiri” (An-Naml: 44), serta “Ketika mereka menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nisa: 64). Keseluruhan jenis kezaliman ini sejatinya adalah kezaliman terhadap diri sendiri, karena seseorang yang memulai perbuatan zalim telah menzalimi dirinya terlebih dahulu. Oleh karena itu, Allah berfirman dalam banyak ayat, “Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nahl: 33) dan “Tidaklah mereka menzalimi Kami, tetapi mereka menzalimi diri mereka sendiri” (Al-Baqarah: 57).

Ibnu Rajab menyebutkan bahwa kezaliman terbagi menjadi dua jenis:

  1. Kezaliman terhadap diri sendiri : Yang terbesar adalah syirik, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Orang yang melakukan syirik menempatkanmakhluk pada kedudukan Sang Pencipta dengan menyembah dan mengagungkannya. Hal ini merupakan bentuk penempatan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Kemudian diikuti oleh berbagai bentuk maksiat, baik besar maupun kecil.
  2. Kezaliman terhadap orang lain : Mencakup segala bentuk ketidakadilan dan penyimpangan dalam interaksi sosial.

 

Taubatlah dari Kezaliman : Meminta Maaf

Kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi sosial, terutama ketika kita sering bergaul dengan orang lain, baik itu teman, tetangga, atau bahkan keluarga. Hubungan yang dekat dan intens sering menjadi penyebab timbulnya dan konflik. Oleh karena itu, permohonan maaf dan bertaubat dari kezaliman menjadi suatu keharusan bagi setiap umat Islam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan hal ini dalam hadisnya:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu , Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَت َحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَد ْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ Telepon Seluler

“ Barang siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau mengambil sesuatu darinya, hendaknya segera meminta maaf dan kehalalannya (di dunia ini) sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tak lagi bermanfaat. Jika tidak, maka pada hari berhenti, amal salehnya akan diambil sebanding dengan kezaliman yang telah diperbuat. Jika dia tidak lagi memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang pernah dia zalimi akan dipindahkan kepadanya. (HR.Bukhari, no.2449)

Hal ini semakin relevan jika kita mengingat bahwa kesalahan dan kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi yang rutin, terutama di antara anggota keluarga. Oleh karena itu, permohonan maaf dan perbaikan hubungan menjadi sangat penting. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,ِ

وَكُلَّمَا طَالَتِ المُخَالَطَةُ اِزْدَادَتْ أَسْبَابُ الشَّرِّ وَالعَدَاوَ ةُ وَقُوِّيَتْ , وَبِهَذَا السَّبَبُ كَانَ الشَّرُّ الحَاصِلُ مِنَ الأَقَارِبِ وَالعُشَرَاءِ أَضْعَافَ الشّرِّ الحَاصِلِ مِنَ الأ َجَانِبِ وَالبُعَدَاءِ

“Makin lama bergaul, makin banyak kesalahan dan permusuhan, bahkan makin kuat. Itulah alasan keburukan yang ditimbulkan kerabat dan sanak keluarga pada harta lipat kali dibandingkan dengan keburukan orang yang jauh atau bukan kerabat.” ( Miftaah Daar As-Sa'aadah , 1:422)

 

Meminta Maaf,Tetapi Tidak Dimaafkan

Jika yang sudah berbuat zalim sudah meminta maaf, tapi tidak dimaafkan, apa yang harus dilakukan?

Dari Judan, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ بِمَعْذِرَةٍ ، فَلَمْ يَقْبَلْهَا كَانَ عَل َيْهِ مِثْلُ خَطِيئَةِ صَاحِبِ مَكْسٍ

“Barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya dengan suatu alasan, lalu saudaranya itu tidak menerima maafnya, maka orang yang tidak menerima maaf tersebut akan menanggung dosa seperti dosa pemungut pajak yang zalim.”  (HR. Abu Daud dalam Al-Marasil, no. 521; Ibnu Majah dalam As-Sunan, no. 3718; Ibnu Hibban dalam Raudah Al-'Uqala', hlm. 182; Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al- Kabir, 2:275; Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, 6:321. Syaikh Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no.

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha , dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,

يَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُ كُمْ، وَمَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ الْمُسْلِمِ مِنْ شَيْءٍ بَلَغَهُ عَنْهُ فَلَمْ يَقْبَلْ عُذْرَهُ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَ itu

“Maafkanlah (kesalahan orang lain), niscaya istri-istri kalian akan memaafkan kalian. Berbuat baiklah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian. Dan barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya sesama muslim atas sesuatu yang pernah ia lakukan, tetapi saudaranya itu tidak menerima permintaan maafnya, maka ia tidak akan mendatangiku di telaga (pada hari berhenti).”  (HR. Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Awsath, 6:241. Al-Haytsami dalam Majma' Az-Zawaid, 8:81 menyatakan bahwa ada Khalid bin Zaid Al-'Umari, ia seorang perawi pendusta ).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

 فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ

“Maafkanlah (kesalahan) para wanita orang lain, niscaya para wanita kalian juga akan terjaga. Berbaktilah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian. Dan barang siapa yang didatangi oleh saudaranya untuk meminta maaf, hendaklah ia menerima permintaan maaf tersebut, baik saudaranya itu benar maupun salah. Jika dia tidak melakukannya, maka dia tidak akan mendatangiku di Telaga (al-Haudh pada hari berhenti).”  (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4:154. Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Namun, Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Suwaid itu dhaif. Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no 2043 mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif ).

Catatan : Tiga hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits yang dhaif.  Kelemahan hadits-hadits yang berbicara tentang ancaman bagi mereka yang tidak menerima permintaan maaf saudaranya, tidak berarti bahwa hal tersebut (menerima permintaan maaf) bukanlah hal yang diinginkan. Bahkan, menerima permintaan maaf dari orang yang meminta maaf adalah bagian dari kemuliaan akhlak dan penyebab timbulnya cinta dan kasih sayang.

Ibnu Hibban rahimahullah berkata dalam kitab “ Raudhatul 'Uqala' wa Nuzhatul Fudhala ” (1:183), “Wajib bagi orang yang berakal, ketika saudaranya meminta maaf kepadanya atas suatu kesalahan yang terjadi atau mengirimkan yang pernah terjadi, hendaklah menerima permintaan maaf tersebut dan berasumsi seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan. Karena siapa saja yang diminta maaf oleh saudaranya tetapi tidak menerima, saya khawatir dia tidak akan mendatangi Telaga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika seseorang pernah melakukan kesalahan dalam urusan apa pun, ia harus meminta maaf atas kelalaiannya kepada saudaranya.”

Muhammad bin Abdullah bin Zanji al-Baghdadi pernah membacakan syair saya, “Jika temanmu suatu hari meminta maaf atas kelalaian, terimalah maaf permintaannya dengan penuh keikhlasan. Jaga ia dari perlakuan kerasmu dan maafkan dia, karena pemaafan adalah sifat mulia setiap orang yang terhormat.”

Imam Al-Ghazali rahimahullah juga berkata, “Adapun kesalahan saudara terhadap hakmu, yang membuat hatimu merasa terganggu, tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang utama adalah memaafkan dan bersabar. Apalagi segala sesuatu yang masih bisa didukung dengan baik dan ada kemungkinan permintaan maaf yang masuk akal, baik dekat atau jauh, wajib bagimu untuk memahami atas dasar persaudaraan.” ( Ihya 'Ulumuddin , 2:185-186).

Bahasan ini menekankan pentingnya memaafkan dan menerima permintaan maaf sebagai bagian dari akhlak yang mulia dan kewajiban dalam menjaga persaudaraan.

Tetaplah Berbuat Baik Meski Tak Dimaafkan

Jika seseorang enggan memaafkan meskipun kita telah meminta maaf, tetaplah berbuat baik.

Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin (1:360) menyatakan bahwa gangguan manusia atau pemutusan hubungan dari mereka tidak seharusnya menghentikan perbuatan baik kita kepada mereka. Allah pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika ia hendak memutuskan untuk memutuskan dengan Misthah bin Utsatsah, yang telah menyakitinya pada saat terjadi haditsul ifki (tuduhan palsu terhadap Aisyah radhiyallahu 'anha). Maka waktu itulah Allah berfirman,

وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أ ُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“ Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaknya mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang .” (QS. An-Nuur : 22) 

 

Ya Allah, Maafkanlah Kezaliman Kami

Kita semua pernah berbuat salah, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terkadang, kezaliman yang kita lakukan menjadi beban berat yang mengganggu hati dan jiwa. Namun, Allah Subhanahu wa Ta'ala selalu membuka pintu pengampunan bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh ingin bertaubat.

Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu , bahwa dia berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Ajarkanlah memasukkan doa yang aku baca dalam shalatku.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah:

اللهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيراً، وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي، إنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيْمُ

ALLOHUMMA INII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRO, WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA, FAGH-FIR-LII MAGH-FIROTAN MIN' INDIK, WARHAM-NII, INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIM.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan pengampunan dari sisi-Mu, belas kasihan diriku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang.” ( Muttafaqun 'alaih. HR. Bukhari, no. 834 dan Muslim, no. 2705)

Penutup

Sebagai penutup, para ulama seperti Ibnu Katsir memberikan panduan mengenai taubat yang tulus dan ikhlas. Beliau menjelaskan bahwa taubat yang benar adalah:

 وَيَنْدَمَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْهُ فِي الْمَاضِي، وَيَعْزِمَ عَلَى أَنْ لَا يَفْعَلَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، ثُمَّ إِنْ كَانَ الْحَقُّ لِآدَمِيٍّ رَدَّهُ إِلَيْهِ بِطَرِيقِهِ.

Taubat yang tulus adalah dengan meninggalkan dosa di masa sekarang, menyesali apa yang telah dilakukan di masa lalu, dan tekad untuk tidak mengulanginya di masa depan. Kemudian, jika dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia, maka ia harus mengembalikannya dengan cara yang benar.” ( Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, 7:323)

Inilah pentingnya taubat dari kezaliman, mengembalikan hak-hak yang pernah kita rampas, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri di m



*Dikutip dari Catatan Ustadz Dr Muhammad Abduh Tuasikal M.Sc




Referensi:

  • https://islamqa.info/ar/answers/116388/
  • https://dorar.net/alakhlaq/438

Sumber https://rumaysho.com/39041-dosa-kezaliman-ingatlah-dan-mintalah-maaf.html

Komentar